CARI

Welcome to All About Know at http://nandkostaman.blogspot.com/ ! Enjoy my blog.

Thursday, September 2, 2010

Refleksi tentang Manhattan Project dalam Kerangka Konstitutif dan Konstruktif Sains


10:00 AM |

Quantcast
Manhattan Project adalah sebuah proyek yang diinisiasi oleh pemerintahan Franklin Roosevelt dalam menghadapi tantangan Perang Dunia II. Eskalasi dalam Perang Dunia Kedua menimbulkan sebuah kebutuhan akan senjata pamungkas pengakhir perang, ditambah dengan ketakutan kalau senjata pamungkas ini dibuat terlebih dahulu oleh pihak lawan. Proyek ini dipicu oleh sebuah surat yang ditulis oleh Szilard dan Einstein, yang mengungkapkan sebuah kemungkinan akan senjata nuklir, yang memanfaatkan tenaga tersembunyi di dalam atom. Proyek ini pun dimulai di bawah manajer seorang kolonel bernama Leslie Richard Groves, dan dikepalai oleh seorang ilmuwan yang mumpuni, Robert Oppenheimer. Sekumpulan ilmuwan dan insinyur dari berbagai bidang pun dikumpulkan di beberapa kompleks, yang salah satunya bertempat di Los Alamos, New Mexico. Ada dua hal yang bisa dicermati dalam pembentukan proyek ini. Pertama, ia diinisiasi oleh sebuah tindakan politik dalam situasi perang. Ia menjadi alat pemenangan sebuah perang, dan juga sebuah alat dengan alasan kemanusiaan untuk mencegah perang berkepanjangan yang menghabiskan nyawa banyak prajurit, atau kemungkinan terburuk yaitu menangnya pihak lawan yaitu Nazi Jerman dan Kekaisaran Jepang. Tanpa adanya tekanan dari sebuah perang, proyek yang membutuhkan banyak sumberdaya ini mungkin tidak akan terwujud, paling tidak mustahil terwujud dalam waktu singkat. Kedua, dunia ilmu fisika memang telah berkembang sedemikian rupa sehingga semua kerangka teoretis dan praktis telah mengarah pada sebuah kemungkinan untuk menciptakan senjata atom. Tanpa perkembangan ini, kemungkinan pembuatan sebuah senjata atom adalah tentulah mustahil. Kedua hal ini dalam bahasa Longino disebut dimensi kontekstual, yaitu tindakan politik yang menginisiasi proyek ini, dan dimensi konstitutif, yaitu perkembangan ilmu fisika atom.

Dimensi Kontekstual dan Konstitutif

Sains kerap kali lahir dari sebuah kebutuhan. Dan kerap kali pula, kebutuhan yang mendesaklah yang memicu akselerasi perkembangan sains. Perang Dunia telah membuktikan bahwa kebutuhan militer telah memacu perkembangan sains secara luar bisa; untuk menyebut beberapa di antara: teknologi dirgantara, radar, dan tentu saja senjata atom. Manhattan Project lahir dari sebuah kebutuhan perang. Oleh karena itu, ia mampu menyerap sumber daya baik dana, bahan baku maupun manusia dalam jumlah yang tak terbayangkan dalam masa damai. Dimensi kontekstual ini meskipun tidak menentukan proses internal sains, dengan segala keketatan ilmiahnya, ikut menentukan arah pengembangan sains. Aplikasi fisika nuklir untuk senjata mungkin tidak akan terjadi tanpa adanya sebuah kebutuhan pemenangan perang. Dana untuk pengembangan senjata ini juga luar biasa besar, yang sulit untuk dibayangkan dalam masa damai. Begitu pula dengan usaha pengumpulan segenap ilmuwan dan insinyur yang juga mungkin sulit berkumpul untuk satu proyek di masa damai. Manhattan Project sendiri adalah sebuah puncak dari ilmu pengetahuan jaman itu. Ia tidak akan mungkin terwujud jika kemajuan ilmu fisika dan juga rekayasa belum mencapai sebuah titik yang membuat ia mungkin diwujudkan. Beberapa perkembangan ilmu fisika telah mendahuluinya dan memberikan landasan teoretis baginya. Jalan menuju ke fisi atom telah dibuka oleh Ernest Rutherford yang di tahun 1919 berhasil mengubah unsur dari nitrogen menjadi oksigen. Ini diikuti dengan penemuan neutron oleh James Chadwick. Di tahun 1932 juga J. D. Cockroft dan E. T. S. Walton berhasil melakukan fisi atom lithium yang dibombardir dengan proton dan menghasilkan dua atom helium. Kesemuanya merintis jalan menuju fisi atom berantai yang dimanfaatkan menjadi sebuah bom nuklir. Bisa dikatakan lahan untuk mengembangkan senjata nuklir memang sudah siap, dan ini tidak ada kaitannya dengan dimensi konstekstual, ia ada dalam pengembangan internal sains itu sendiri. Tanpa adanya kesiapan ini, bagaimana pun senjata nuklir tidak akan mampu diwujudkan, bahkan tak terpikirkan.

Cerita dari Akhir Manhattan Project

Akhirnya sejarah bicara. Perang Dunia II di teater Eropa mengarah pada kekalahan Jerman. Kekhawatiran akan kekuatan Jerman yang juga mampu membuat bom atom tidak terbukti. Sebuah serangan komando terhadap reaktor air berat di Norwegia telah melumpuhkan kemampuan Jerman untuk membuat sebuah reaktor nuklir. Dengan demikian konteks awal pembentukan Manhattan Project, yaitu sebagai senjata pamungkas pemenangan perang, telah hilang. Jerman telah kalah tanpa perlu ditaklukkan dengan bom atom. Perkembangannya berbeda di teater Pasifik. Jepang meskipun masih bisa bertahan, hanya menunggu waktu untuk menyerah. Sebuah dimensi politik baru pun lahir. Bom atom dijadikan alasan untuk memaksa Jepang menyerah tanpa perlu pendaratan amfibi di Jepang yang akan memakan banyak korban di pihak sekutu. Namun ada sebuah alasan lain yang sering tidak dikemukan yaitu alasan geopolitik. Amerika yang sebenarnya mampu menang tanpa menggunakan bom atom, memerlukan bom atom untuk mengukuhkan posisinya sebagai pemenang perang, bersaing dengan Rusia yang sudah bersiap untuk menginvasi Jepang dari Manchuria. Lagi-lagi politik mengambil alih,dan proyek bom atom diteruskan walaupun bukan lagi untuk pemenangan perang. Para ilmuwan yang terlibat di dalam Manhattan Project juga terbawa oleh subjektivitas mereka sendiri. Keinginan pribadi mereka untuk menyelesaikan penelitian mereka, tanpa melihat akibat dari apa yang mereka perbuat, membuat mereka juga setuju untuk meneruskan proyek itu. Ego ilmiah bermain di sini, seperti kata sebuah jargon, apa yang bisa diciptakan harus diciptakan. Lagi-lagi konteks mengambil alih dalam perkembangan saintifik. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Freeman Dyson di dalam film documenter The Day After Trinity: I have felt it myself. The glitter of nuclear weapons. It is irresistible if you come to them as a scientist. To feel it’s there in your hands, to release this energy that fuels the stars, to let it do your bidding. To perform these miracles, to lift a million tons of rock into the sky. It is something that gives people an illusion of illimitable power, and it is, in some ways, responsible for all our troubles – this, what you might call technical arrogance, that overcomes people when they see what they can do with their minds. Halnya yang sama bisa dilihat kesaksian Robert Oppenheimer dalam sebuah hearing untuk pembelaan dirinya: When you see something that is technically sweet, you go ahead and do it and argue about what to do about it only after you’ve had your technical success. That is the way it was with the atomic bomb.

Sebuah refleksi akan Rasionalitas Sains

Sains memang berkembang dengan fakta dan logika. Namun pengalaman akan sejarah sains yang ditunjukkan oleh Manhattan Project menunjukkan bahwa sains adalah lebih dari fakta dan logika kering. Ia tidak dapat dilepaskan dari subjektivitas manusia. Hal ini menjadi semakin penting di masa kini di mana perkembangan sains memerlukan dana yang sangat besar. Sains tidak lagi seperti masa-masa awal perkembangannya di mana ia dapat dilakukan di dalam laboratorium pribadi yang dibiayai dengan kocek sendiri. Dana yang besar ini memasukkan campur tangan ekonomi, industri dan pemerintah ke dalamnya. Meskipun demikian, sains tetap otonom di dalam dirinya sendiri. Konteks memang menentukan arah dan intensitas pengembangan sains, namun integritas sains tetap tidak terpengaruh oleh konteks yang menyelimutinya. Pemilihan metode sains tetap tidak dipengaruhi oleh dimensi konstekstual. Lalu apa itu rasionalitas sains? Sejauh dalam dimensi konstitutif, ia tetap rasional dengan segala keketatan ilmiahnya. Namun dalam dimensi kontekstual, subjektivitas dapat masuk ke dalam pengembangan sains, dan kerap kali ia tidak rasional.


You Might Also Like :


0 komentar:

Post a Comment

Silakan masukan komentar dari Anda. No SARA, PORN, and SPAM. Please !

Nandkostaman.blogspot.com. Powered by Blogger.