Paul Karl Feyerabend
lahir di Wina, Austria pada tahun 1924. Pada masa mudanya ia tertarik
untuk belajar ilmu pasti. Menjelang Perang Dunia II di saat Austria
diduduki Nazi Jerman, ia ditarik sebagai tenaga kerja bagi The Third Reich
dan sempat menjadi tentara di front Rusia. Sekembalinya ia dari perang,
ia belajar filsafat di Wina. Di sana ia sempat belajar dari Berthold
Brecht. Kemudian ia pindah ke Cambridge karena tertarik untuk berguru
pada Wittgenstein. Sepeninggal Wittgenstein, ia pindah ke London School of Economics
dan di sana ia berguru pada Karl Popper. Setelah sebelumnya menganut
falsifikasi Popper, ia kemudian menyusun pemikirannya sendiri yang
melawan pemikiran Popper. Ia kemudian mengajar di beberapa tempat
seperti University of California-Berkeley, Yale dan Minnesota.
Feyerabend adalah seorang filsuf ilmu pengetahuan yang cukup
kontroversial. Di kalangan tertentu ia dianggap sebagai musuh ilmu
pengetahuan karena mengadvokasi sisi non-ilmiah untuk mencapai
kebenaran. Ia juga dituduh sebagai anti rasionalitas karena mengadvokasi
sisi intuitif manusia. Untuk tidak jatuh ke dalam pendapat umum, maka
ada baiknya untuk melihat terlebih dahulu apa sebenarnya proyek yang
ingin dikerjakan oleh Feyerabend.
Feyerabend, sebagaimana Thomas Kuhn, mewarnai filsafat ilmu
pengetahuan abad ke-20 dengan melihat sejarah ilmu pengetahuan sebagai
sesuatu yang sentral di dalam filsafat ilmu pengetahuan. Melalui
analisis sejarah ilmu pengetahuan, ia melihat bahwa ilmu pengetahuan
bukanlah sesuatu yang tidak mungkin salah. Sepanjang sejarah ilmu umat
manusia, setiap teori selalu digagalkan oleh teori yang berikutnya.
Karena itu bagi Feyerabend tidak ada yang sakral tentang teori itu
sendiri, seperti halnya klaim ilmu pengetahuan pada umumnya. Kita hanya
bisa sekedar puas kalau teori ini benar pada batas tertentu dan pada
waktu tertentu.
Ia juga sependapat dengan Kuhn tentang ketidakterbandingan (incommensurability)
antara dua paradigma ilmu yang berbeda. Artinya dua teori yang berbeda
tidak bisa diukur dengan standar yang sama. Ia menolak bahwa pengamatan
adalah standar yang bisa dipakai untuk melihat apakah sebuah teori
terbukti atau tidak. Benar tidaknya sebuah pengamatan ditentukan oleh
kerangka teorinya.[1]
Contoh yang bisa kita pakai misalnya adalah konsep “panjang” dalam
fisika Newtonian dan fisika relativistik. Dalam fisika Newtonian,
“panjang” adalah sebuah entitas yang independen terhadap kecepatan
benda, kecepatan pengamat dan medan gravitasi, namun dalam fisika
relativistik “panjang” tidaklah independen terhadap kecepatan benda,
kecepatan pengamat dan medan gravitasi.[2] Dengan kata lain “panjang” dalam fisika Newtonian adalah mutlak, sedangkan dalam fisika relativistik adalah relatif.
Feyerabend lalu melakukan serangan melalui bukunya Against Method.
Seperti yang diungkapkan dengan judulnya, Feyerabend melawan positivisme
yang mengatakan bahwa kebenaran hanya bisa dicapai melalui metode
ilmiah. Positivisme di dalam ilmu pengetahuan mengatakan bahwa kebenaran
hanya bisa dicapai melalui pengamatan. Pengamatan menurut penganut
positivisme adalah sesuatu yang betul-betul bebas nilai dan oleh karena
itu objektif. Feyerabend menolak klaim ini. Ia berpendapat bahwa
pengamatan tidaklah bebas nilai, melainkan terkandung di dalamnya metode
yang dipakai (theory laden).[3]
Dengan kata lain, metodologi yang berbeda akan menghasilkan pengamatan
yang berbeda, oleh sebab itu pengamatan sama sekali tidak objektif.
Seperti halnya Kuhn, Feyerabend justru melihat bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan, atau bahasa Kuhn perubahan paradigma, justru terjadi disaat
metodologi ilmu pengetahuan dilanggar. Contohnya adalah pada kasus
Galileo. Pembelaannya pada heliosentrisme justru dilakukan dengan
melanggar standar ilmu pengetahuan Aristotelian yang berlaku pada waktu
itu. Ini bisa terjadi karena realitas sesungguhnya jauh lebih kaya
daripada apa yang bisa dijangkau oleh metode ilmiah,[4]
secanggih apa pun metode ilmiah tersebut. Karena itulah Feyerabend
mengambil jalan anarkistik untuk mencapai kebenaran di dalam ilmu
pengetahuan, atau dengan kata lain “anything goes”.[5] Inilah yang membuat ia dipandang sebagai seorang anarkis ilmu pengetahuan.
Namun apa yang sesungguhnya ingin dicapai oleh Feyerabend? Untuk itu
ia kembali merujuk pada sejarah. Ia melihat sesuatu yang menakutkan di
dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan karena sesungguhnya ilmu
pengetahuan, yang di dalam sejarahnya lahir untuk melawan metafisika
khususnya metafisika agama, telah menjelma menjadi sebuah agama baru.
Seperti halnya agama yang mempunyai klaim otoritatif yang tidak bisa
diganggu gugat karena klaim ilahiah, ilmu pengetahuan pun mulai mencapai
status “ilahiah”-nya melalui klaim metode ilmiah yang tidak bisa
dibantah.[6]
Ia telah menjadi metafisika yang telah dilawannya sendiri. Feyerabend
melihat ini sebagai sesuatu yang tidak menggembirakan, karena seperti
telah dijelaskan di depan, perkembangan ilmu pengetahuan terjadi justru
karena penumbangan satu metode oleh metode yang lain. Jika suatu metode
ilmiah tidak ditumbangkan, yang terjadi adalah kemandegan ilmu
pengetahuan, karena metodologi menciptakan kebenarannya sendiri.
Feyerabend kemudian merunut sejarah untuk melihat mengapa ini terjadi. Ia mengacu pada pernyataan Protagoras:
Kamu dan saya, para dokter, seniman, dan pengrajin, tahu tentang
banyak hal dan kita hidup karena mereka memiliki pengetahuan itu.
Sekarang mereka yang menamakan diri mereka filsuf mengatakan bahwa
pengetahuan kita hanyalah sekedar pendapat umum yang berdasarkan pada
pengalaman yang tidak tetap dan membedakan kita “yang banyak” dengan
“yang sedikit”, yang telah tercerahkan, yaitu mereka dan teori-teori
aneh mereka.[7]
Protagoras dengan ini ingin melawan pendapat Plato yang menganggap
bahwa para filsuf tahu lebih baik tentang realitas dibandingkan dengan
para praktisi sehari-hari. Menurut Plato, para praktisi ini sering kali
membuat reduksi untuk bisa menjelaskan fenomena sesuai dengan bidang
keahlian mereka. Dengan demikian mereka hanya memiliki kebenaran di
dalam wilayahnya masing masing. Untuk bisa sampai kepada pengetahuan
sejati, kepingan-kepingan pengetahuan ini haruslah disatukan supaya
menjadi sebuah kebenaran yang utuh. Tugas untuk menyatukan
kepingan-kepingan yang terpisah ini jatuh kepada filsuf.[8]
Pandangan Plato ini sebenarnya juga tidak salah, jika filsuf dilihat
secara sejajar dengan yang lain, atau menjadi sekedar moderator di dalam
perdebatan di dalam mencari kebenaran. Protagoras tidak menyangkal
bahwa keberadaan orang-orang bijak, seperti filsuf, dibutuhkan. Bahkan
ia mengatakan bahwa perubahan hanyalah bisa dilakukan oleh orang-orang
bijak ini, mungkin karena mereka memiliki pandangan lebih luas dari
orang pada umumnya. Namun, dengan mengacu pada kehidupan polis di Yunani
terutama di Athena, Protagoras mengatakan bahwa keputusan untuk
melakukan perubahan, dalam hal ini perubahan politis, tetap ada di
tangan warga masyarakat banyak. Kapasitas filsuf adalah sebagai
penasihat, bukanlah sebagai diktator. Protagoras memperingatkan bahwa
jika para filsuf ini diberikan hak untuk menentukan masyarakat, mereka
cenderung akan mengubah masyarakat menjadi sesuai dengan apa yang mereka
anggap benar, bukan untuk semakin mendekati kebenaran hakiki.[9]
Menurut Feyerabend, ini adalah awal dari otoritarianisme ilmu
pengetahuan, dan proyek yang ingin dilakukan oleh Feyerabend adalah
meruntuhkan otoritarianisme ini.
Feyerabend juga menunjukkan bahwa usaha pengetahuan untuk membuat
klaim kebenaran tunggal pun sebenarnya adalah sia-sia. Ia mengambil
contoh dengan ilmu fisika sebagai ilmu yang paling eksak dibandingkan
dengan ilmu yang lain. Dengan merujuk pada perkembangan ilmu
pengetahuan, sampai saat ini tidak ada satu kesetujuan pandangan
mengenai konsep ruang dan waktu di dalam ilmu fisika.[10] Yang ada satu teori yang bertentangan dengan teori yang lain.
Lalu apa yang ditawarkan oleh Feyerabend untuk mencapai kebenaran?
Feyerabend mengidealkan situasi di zaman Yunani Kuno. Kebenaran di zaman
itu dipraktekkan dalam kehidupan di polis, di mana keputusan diambil di
dalam rapat warga. Kebenaran, di dalam hal ini keputusan politik, di
ambil dalam sebuah debat terbuka yang melihatkan orang-orang biasa warga
polis. Semua suara berhak didengarkan. Setiap orang memiliki hak suara
yang sama, tidak peduli ia seorang ahli atau bukan. Jika dinyatakan
dalam sebuah proposisinya, bunyinya kurang lebih seperti ini:
Warga masyarakatlah, bukan sekelompok tertentu yang menentukan apa
yang benar dan apa yang salah, apa yang berguna dan apa yang tidak
berguna untuk masyarakat mereka sendiri.[11]
Feyerabend menamakan ini sebagai relativisme demokratis (democratic relativism).
Ini bukan berarti seorang ahli sama sekali tidak memiliki tempat
dalam menentukan kebenaran. Seorang ahli tetap dapat dipanggil untuk
memberikan pendapatnya, tetapi ia tidak memiliki semacam hak veto untuk
menentukan apa yang salah dan apa yang benar. Ini selaras dengan logika
Aristoteles yang mengatakan bahwa kebenaran yang dikatakan seseorang
tidaklah ditentukan oleh siapa orang itu, apa jabatannya, atau apa
kompetensinya (ad hominem), melainkan oleh apa yang dikatakannya.
Kebenaran yang dicapai dalam konsensus secara demokratis tentu saja
tidak memberikan jaminan sama sekali bahwa itu adalah kebenaran yang
sejati. Tetapi jika kebenaran yang diambil itu terbukti salah kemudian,
ia akan menjadi sebuah pembelajaran yang baik bagi mereka yang telah
mengambil keputusan yang salah. Dengan membuat kesalahan mereka akan
menjadi semakin bijak untuk mengambil keputusan di kemudian hari.[12]
Ini berbeda dengan keputusan yang diambil oleh elit. Masyarakat umum
tetap harus menderita kalau keputusan yang diambil elit salah. Sementara
itu karena keputusan diambil oleh elit secara tertutup, masyarakat
tidak dapat melihat kompleksitas persoalan yang diputuskan. Dan dengan
demikian elit pengambil keputusan dapat dengan mudah membelokkan
kenyataan bahwa mereka telah salah mengambil keputusan dengan
menutupinya, karena toh masyarakat tidak memiliki akses.
Feyerabend justru melihat jalan inilah, yaitu relativisme demokratis,
yang tidak menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Tujuan Feyerabend
meruntuhkan kedigjayaan ilmu pengetahuan dengan klaim absolutnya justru
adalah untuk memajukan ilmu pengetahuan. Ia ingin menyelamatkan ilmu
pengetahuan dari kemandegannya sendiri. Ia mencoba menyadarkan bahwa
secanggih apapun sebuah metodologi, ia masih memiliki kekurangan.
Metodologi absolut yang menjadi impian kaum positivistik, alih-alih
mencapai kebenaran justru akan menciptakan kebenarannya sendiri yang
justru menghambat kemajuan ilmu pengetahuan.[13]
Feyerabend bahkan berani selangkah lebih maju untuk membela apa yang
sering dicibir para ilmuwan sebagai tidak ilmiah seperti voodoo atau
firasat. Feyerabend melihat bahwa hal-hal yang sering diklaim tidak
ilmiah tidaklah otomatis tidak benar, melainkan sekedar tidak bisa
dimasukkan ke dalam kerangka metodologis ilmu pengetahuan yang berlaku
di saat itu.
Feyerabend menolak untuk mengatakan bahwa pendekatan-pendekatan yang
tidak ilmiah ini sebagai tidak rasional. Ia justru mempertanyakan
definisi rasionalitas yang terlalu sempit.[14] Pandangan
rasionalitas yang sempit sebagaimana yang didefinikan kaum
positivistik, yaitu logis dan empiris, tidak dapat menangkap seluruh
kekayaan dari realitas, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Namun
ini tidak berarti kita bisa dengan semena-mena memasukkan
pandangan-pandangan ke dalam ilmu pengetahuan. Feyerabend justru
mengharuskan kebenaran ilmu pengetahuan untuk diuji, bukan hanya sekedar
sesuatu yang dipercaya begitu saja.
Ia menolak klaim bahwa dunia barat lebih unggul dibandingkan dengan
tradisi lainnya. Ia menyarankan studi perbandingan untuk membandingkan
dunia dunia yang berbeda tersebut dan tidak langsung mengatakan bahwa
yang satu lebih baik dari yang lain. Pengobatan tradisional Cina
misalnya, yang menurut ilmu pengobatan barat tidak bisa
dipertanggungjawabkan, adalah efektif bagi ahli pengobatan Cina.
Keduanya tidak terbandingkan karena menganut metodologi yang berbeda.
Namun ketidakterbandingan dua teori yang berbeda tidaklah membuat
tidak ada dialog di antara kedua ilmu tersebut. Lagi pula
ketidakterbandingan adalah masalah para filsuf, menurut Feyerabend.[15]
Dalam ranah praktek, pembandingan antara dua teori yang berbeda tetap
dapat dilakukan. Pendekatan yang dipakainya sama dengan pendekatan yang
diusulkan oleh Protagoras, yaitu pendekatan rekayasa atau pragmatis.[16] Pendekatan seperti inilah yang disebut Feyerabend sebagaimana seorang empiris yang baik atau seorang metafisikus yang kritis:
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah merumuskan asumsi yang
cukup umum namun tidak dihubungkan secara langsung dengan pengamatan;
ini berarti langkah pertama yang harus dilakukan adalah menciptakan
sebuah metafisika baru. Kemudian metafisika baru ini harus diuraikan
secara mendetail untuk bisa berhadapan dengan teori yang ingin diuji,
sehubungan dengan generalitas, detail dari prediksi, keakuratan
perumusan … Pembuangan semua metafisika, alih-alih meningkatkan muatan
empirik dari teori tersebut, justru membuat teori tersebut menjadi
sebuah dogma.[17]
Dengan demikian cukup jelas bahwa apa yang dilawan oleh Feyerabend
bukanlah ilmu pengetahuan, melainkan “fundamentalisme” ilmu pengetahuan.
Yang dibela oleh Feyerabend bukalah sekedar “kemajuan” ilmu
pengetahuan, tapi manusia itu sendiri. Sudah terlihat dari sejarah umat
manusia, bahwa klaim universal ilmu pengetahuan telah menimbulkan
penindasan dari satu kelompok manusia kepada kelompok manusia lain.
Feyerabend ingin membela manusia, bahwa sekecil apapun suaranya ia tidak
diabaikan.
Pembelaan Feyerabend terhadap ilmu pengetahuan yang humanis dan
pluralis ini mungkin bisa diringkas dengan sebuah kutipan darinya:
Ilmu pengetahuan adalah salah satu ciptaan dari pikiran manusia yang
paling menakjubkan … melawan ideologi yang mengatasnamakan ilmu
pengetahuan untuk membunuh kebudayaan.
You Might Also Like :
0 komentar:
Post a Comment
Silakan masukan komentar dari Anda. No SARA, PORN, and SPAM. Please !