
Perseteruan antara Newton dan Leibniz
telah sering diceritakan di dalam banyak buku teks maupun buku-buku
ilmiah populer lainnya. Yang dibahas di dalamnya biasanya adalah
mengenai klaim penciptaan kalkulus. Sebuah perdebatan lain sering kali
lolos dari perhatian banyak orang, dan perdebatan inilah yang diangkat
oleh Cassirer di dalam sebuah tulisannya di dalam Jurnal The Philosophical Review.
Perdebatan ini adalah mengenai posisi epistemologis kedua raksasa
filsafat ini dalam melihat ilmu alam atau—di dalam bahasa yang dipakai
di zaman itu—filsafat alam.
Untuk melihat perbedaan yang mendasar
di antara kedua filsuf alam tersebut bukanlah sebuah perkara yang
mudah. Sentimen-sentimen yang menyertai perdebatan tersebut mengaburkan
esensi dari perdebatan itu sendiri. Surat menyurat yang terjadi di tahun
1715 dan 1716 antara Leibniz dan Samuel Clarke yang membela Newton juga
tidak banyak membantu untuk melihat masalah ini lebih jelas. Bahkan
tuduhan-tuduhan yang saling dilontarkan satu sama lain malah melebar
pada masalah agama. Untuk itu kita perlu masuk ke dalam pemikiran kedua
filsuf ini secara mendasar supaya bisa memahami betul inti perdebatan
mereka.[1]
Newton dan Leibniz secara sederhana
bisa dilihat sebagai pengusung dua tradisi ilmiah yang berbeda; Newton
mengedepankan induksi sebagai pengusung empirisisme dan Leibniz
mengedepankan deduksi. Sebagai pengusung empirisisme, Newton
mementingkan data faktual sebagai sebuah realitas. Leibniz berangkat
dari hal yang berbeda dengan mengandalkan rasio, yang menurutnya dapat
menjelaskan seluruh realitas.[2]
Tetapi mengotakkan Newton dan Leibniz
menjadi pengusung cara berpikir induktif atau deduktif bisa jadi juga
kurang tepat, mengingat induksi dan deduksi bisa dipakai secara longgar.
Cara berpikir induktif Newton tidaklah sama dengan Francis Bacon atau
John Stuart Mill. Induksi Newton bisa ditelurusi dari metode induksi
Galileo ketimbang melalui Bacon. Bacon sendiri melalui metode induksinya
mencita-citakan sebuah “rasionalisasi” dari seluruh data-data empiris,
sehingga ditemukan “forma murni” dari seluruh fenomena yang berubah-ubah
dan banyak. Ini bukanlah cara yang ditempuh Galileo dan Newton. Metode
Bacon adalah ektensifikasi dan amplifikasi dengan mengumpulkan data
empiris sebanyak-banyaknya. Newton tidak tertarik dengan ini. Ia tidak
ingin mencari “forma murni” dari gravitasi misalnya. Ia sekedar ingin
mereduksi fenomena alam menjadi hukum-hukum alam dan menurunkan
hukum-hukum alam ini secara matematis. Metodenya adalah intensifikasi
dan simplifikasi. Dengan metode ini proses akumulasi dan komparasi
induksi Baconian diubah menjadi sebuah proses analitis. Cara ini oleh
Newton dinamakan induksi analitis. Tanpa proses analitis tersebut, tidak
akan dapat dihasilkan buah dari semua data empiris tersebut, yaitu
sebuah hukum alam yang menggambarkan gejala yang dapat dinyatakan secara
matematis.[3]
Dengan induksi analitis ini,
pengumpulan data empiris bukanlah tujuan utama. Interpretasi dari
data-data yang sudah ada menjadi lebih penting. Hukum gravitasi umum
telah lama didiskusikan sebelum terbitnya Principia Newton.
Bahkan rumusan matematis hukum gravitasi umum Newton pun bukan barang
baru; Christopher Wren, Robert Hooke, dan Edmond Halley telah
mengembangkan teori daya tarik yang berbanding terbalik dengan kuadrat
jarak. Sumbangan Newton bukanlah di situ, melainkan memberikan sebuah
kerangka berpikir yang sungguh baru, yang kemudian bisa dijadikan
landasan pijakan yang kuat bagi para penerusnya.[4]
Leibniz di lain pihak memulai dari
titik lain. Jika Newton mulai dengan menganalisis fenomena alam, Leibniz
memulai dengan analisis logika. Sebagaimana yang dikatakan Leibniz:
“Jika seseorang ingin membuat bangunan di tanah
berpasir, ia harus terus menggali sampai menemukan dasar kokoh berbatu,
seperti orang yang ingin mengurai benang kusut harus menemukan awalnya,
dan seperti Archimedes yang membutuhkan tumpuan diam untuk memindahkan
dunia—jadi yang kita butuhkan adalah sebuah titik tetap sebagai fondasi
di mana kita bisa mendirikan pengetahuan manusia. Dan titik awal ini
adalah analisis dari macam-macam kebenaran.”[5]
Ini bukan berarti Leibniz tidak
mengakui nilai dari kebenaran empiris. Kebenaran empiris baginya
hanyalah sebuah bagian kecil dari seluruh semesta kebenaran. Adalah
tugas para filsuf untuk bisa menemukan kebenaran sejati di belakang
kebenaran fenomenal. Di dalam ilmu fisika kita menemukan kebenaran
faktual, di dalam logika, aritmatika dan geometri kita menemukan
kebenaran abadi.
Kebenaran faktual tidak terpisah dari
kebenaran logika dan matematika, atau bertentangan dengannya.
Masing-masing dunia memiliki hukum-hukumnya masing-masing. Di dalam
suratnya kepada Clarke, Leibniz menunjukkan:
Fondasi agung dari matematika adalah prinsip
kontradiksi atau identitas, yaitu sebuah proposisi tidak mungkin benar
dan salah pada saat yang sama; dan oleh karena itu ia adalah yang itu
dan tidak bisa yang lain. Prinsip ini cukup untuk mendemonstrasikan
setiap bagian dari aritmatika dan geometri, yang merupakan seluruh dari
prinsip-prinsip matematika. Tetapi untuk meneruskan dari matematika ke
filsafat alam, sebuah prinsip yang lain diperlukan … prinsip kecukupan
sebab (sufficient reason), bahwa tak satu pun yang terjadi tanpa sebab sehingga ia harus terjadi demikian ketimbang yang lain.[6]
Leibniz mengatakan bahwa kebenaran
logika dan matematika adalah niscaya, sedangkan kebenaran faktual adalah
kontingen. Ia kemudian meneruskan bahwa perbedaan antara kebenaran yang
niscaya dan kontingen ini hanya memiliki nilai relatif, bukan absolut.
Keduanya memang tidak berada pada domain yang sama. Keduanya tidak dapat
dibandingkan. Meskipun demikian ini tidak berarti mereka tidak memiliki
hubungan. Leibniz memberikan contoh dengan bilangan irasional. Sebuah
bilangan irasional tidak ditemukan di dalam pengukuran faktual,
melainkan hanya ditemukan dalam konsep matematika. Namun bilangan
irasional tetap dapat didekati dengan deret tak hingga bilangan rasional
sehingga keduanya tetap berhubungan.[7]
Leibniz mengakui bahwa di dalam
banyak bidang kita hanya bisa mendapatkan kebenaran faktual. Yang bisa
kita lakukan adalah mengumpulkan fakta tanpa bisa mendeduksi fakta dari
prinsip-prinsip rasio yang lebih tinggi. Namun ini hanyalah langkah
pertama. Seorang ilmuwan atau filsuf tidak akan pernah puas dengan hasil
seperti ini. Mereka tidak hanya sekedar mengumpulkan fakta, melainkan
mau mencoba mengerti fenomena alam. Kebenaran rasional inilah yang
menjadi batas dari ilmu pengetahuan. Kita mungkin tidak akan pernah tahu
penyebab dari segala sesuatu, tetapi kita tidak boleh berputus asa
untuk terus mencari dan membuktikan penyebab-penyebab tersebut. Semuanya
ini bisa dirangkum dalam sebuah kalimat
“Semua kebenaran empiris dapat digambarkan dalam kebenaran rasional dan dapat direduksi ke dalam bentuk kebenaran rasional.”[8]
Dengan kalimat ini, sesungguhnya Leibniz-lah seorang rasionalis par excellence,
melebihi rasionalis-rasionalis lainnya. Ia meyakini bahwa ilmu
pengetahuan adalah proses pencarian kebenaran ini, bukan sekedar
pengumpulan fakta, tetapi sebuah proses mengerucut yang semakin
mendekati kebenaran. Seluruh kebenaran empiris bisa direduksi menjadi
prinsip-prinsip umum yang universal. Ia bahkan melampaui batas-batas
ilmu alam, dengan juga menerapkan prinsip-prinsip universal ini pada
ranah lain yaitu masalah politik, sosial dan religius.[9]
Ambisi Leibniz memang terlihat begitu
besar, sebesar kepercayaannya pada rasio manusia yang bisa mengerti
semua hal. Ia mendambakan sebuah Scientia Generalis yang
membuat semua fenomena terjelaskan. Newton tidak seambisius itu. Bagi
Newton, dunia sekedar dapat dimasuki, tetapi tidak dapat dipahami oleh
rasio manusia. Sains mungkin bisa memimpin kita sampai jauh, tetapi
tidak mampu melihat sampai pada kedalaman “lautan kebenaran”.[10]
Meskipun cara mereka melihat
kebenaran begitu berbeda, mereka berdua memakai matematika. Keduanya
meletakkan fondasi matematika yang sangat kokoh sampai saat ini, yaitu
matematika nilai variasi, atau matematika perubahan, yang kita kenal
sekarang dengan istilah kalkulus. Namun mereka berdua melihat matematika
secara berbeda. Bagi Leibniz, matematika adalah salah satu dari
aplikasi umum prinsip-prinsip logikanya. Kalkulus ciptaannya adalah
pengejawantahan logika dalam bentuk simbolisme matematika. Simbol-simbol
ini, dengan kejelasan dan kesederhanaannya, terbukti lebih superior
dibandingkan dengan metode fluxion ciptaan Newton.[11]
Newton memperlakukan matematika
secara berbeda. Ia melampaui tradisi matematika para pendahulunya. Sejak
Plato, matematika dipakai sebagai penggambaran kebenaran yang
abadi—yang tidak berubah. Matematika tidak berubah menurut keadaan,
seperti yang terjadi pada fenomena, oleh karena itulah, matematika
dilihat sebagai kebenaran yang sempurna. Newton justru melakukan hal
yang sebaliknya. Newton menggunakan matematika untuk menggambarkan
perubahan. Matematika yang ia kembangkan digunakan untuk menggambarkan
gerak. Ia bahkan mereduksi seluruh fenomena alam menjadi gerak. Gerak
tidak lagi menjadi sekedar fenomena, melainkan konsep dari alam itu
sendiri, sebagai sebuah kategori matematis. Bagi Newton, matematika baru
ini bukanlah sekedar ada di dalam pikiran manusia, melainkan realitas
itu sendiri.[12]
Leibniz juga menempatkan matematika
di posisi yang tinggi. Namun ia melihat matematika sebagi subordinat
dari logika. Ia adalah seorang Platonis sejati dan pembela tradisi
Yunani klasik yang ketat secara logika deduktif. Kalkulus ciptaannya
bukanlah dibangun dari fenomena alam, seperti halnya Newton, melainkan
konsep yang diturunkan dari logika.[13]
Perbedaan yang mendasar dari Newton
dan Leibniz juga terlihat dari bagaimana mereka memandang ruang dan
waktu. Bagi Newton, ruang dan waktu bukan hanya realitas, melainkan
adalah juga kerangka dari realitas itu sendiri. Bahkan Newton sebagai
seorang yang religius menyebutkan bahwa ruang dan waktu bukan hanya
realitas material biasa melainkan atribut absolut dari Allah sendiri.
Mereka adalah forma dan tatanan, bukan benda. Leibniz sebagai seorang
ahli logika melihatnya secara berbeda. Ruang dan waktu baginya tidak
memiliki eksistensi secara metafisis. Ruang adalah keadaan di mana benda
terletak, dan waktu adalah keadaan menurut urutan posisi kejadian.
Untuk melihat ruang, kita cukup melihat posisi relatif antara
benda-benda, tanpa perlu menciptakan sebuah realitas tersendiri. Begitu
pula dengan waktu, ia adalah sekedar urutan kejadian, yang tidak perlu
dijadikan sebuah eksistensi terpisah.[14]
Salah satu sanggahan Leibniz adalah
seperti ini: jika ada dua benda bergerak sejajar satu sama lain dengan
kecepatan yang sama sehingga posisi keduanya tidak berubah, bagaimana
kita bisa tahu mereka bergerak terhadap ruang atau tidak. Bagaimana kita
bisa tahu kedua benda tersebut diam atau bergerak, mengingat posisi
relatif keduanya adalah sama. Dalam kata-katanya sendiri Leibniz
menjelaskan
Aku meyakini bahwa ruang dan waktu adalah
sesuatu yang murni relatif. Ruang adalah sebuah tatanan koeksistensi dan
waktu adalah tatanan suksesi. Ruang menyatakan kemungkinan tatanan
benda-benda, sejauh mereka ada bersama-sama, di dalam waktu yang sama,
bagaimanapun cara mereka berada. Di manapun kita melihat banyak hal
berbeda, kita sadar akan tatanan di antara mereka.[15]
Menjadi semakin jelas bahwa perbedaan mereka adalah Newton melihat kebenaran sebagai apa yang ada di alam—in rerum natura—sedangkan
Leibniz melihat bahwa apa yang benar adalah apa yang logis. Bahkan
matematika menurut Newton adalah sebuah kebenaran karena ia dapat
ditemukan dalam alam.[16]
Meskipun berbeda, mereka berdua
menolak sensasionalisme. Keduanya sepakta bahwa fakta empiris saja tidak
mencukupi. Dengan demikian mereka berbeda dengan tradisi empirisisme
Inggris, yang mengatakan bahwa semuanya itu hanyalah persepsi semata.
Bagi Newton ruang dan waktu adalah realitas ultima yang substansial, dan
bagi Leibniz, ruang dan waktu adalah asumsi yang niscaya, yang
memungkinkan realitas yang lain untuk dipahami.[17]
Sejarah kemudian membuktikan bahwa
batu pijakan yang didirikan oleh Newton-lah yang membuat revolusi di
dalam ilmu alam. Dengan mereduksi seluruh fenomena alam menjadi gerak
yang dapat dinyatakan secara matematis, seluruh fenomena alam dapat
dipotong-potong dan dianalisis geraknya saja. Ini menghindarkan mereka
dari debat deduktif yang melelahkan tentang esensi dari realitas itu
sendiri. Metode Leibniz, walaupun terbukti tangguh secara logika
matematis, lebih sukar untuk dijadikan pijakan. Waktu dan ruang yang
relatif terbukti lebih sulit untuk dipahami, apalagi dirumuskan secara
matematis. Sejarah membutuhkan beberapa abad kemudian ketika Einstein
mengemukakan teori relativitas dan mampu mengemukannya secara matematis.
Perkembangan fisika modern memang
menunjukkan seolah-olah mereka kembali kepada pemikiran Leibniz. Teori
relativitas menunjukkan bahwa ruang dan waktu tidaklah absolut. Model
Standar yang sekarang dipakai juga terlihat semakin matematis, sehingga
dengan demikian adalah logika. Beberapa postulat di dalamnya belum
memiliki pijakan pengamatan empiris. Logika terlihat mendahului data
faktual. Begitu pula dengan cita-cita adanya sebuah Grand Unified Theory yang menyatukan semua teori-teori fisika. Ini terlihat seperti cita-cita Scientia Generalis-nya Leibniz.
Namun ini tidak berarti fisika
Newtonian telah diruntuhkan. Ia lebih merupakan sebuah konstruksi baru
sains. Fisika Newton tetap menjadi dasar pijakan yang memungkinkan
fisika berkembang, sehingga pada suatu titik dimungkinkan sebuah
loncatan kepada sebuah fisika baru. Sentimen-sentimen Inggris vs. Jerman
telah membuat kemungkinan konstruksi lebih awal gagal terjadi. Begitu
pula dengan dogmatisme ajaran-ajaran Newton yang tidak disikapi dengan
kritis, yang telah menghambat pertumbuhan sains.
Menarik untuk dilihat bahwa walaupun
Newton dan Leibniz berbeda secara epistemologis, keduanya mampu
disatukan dalam fisika modern. Posisi Newton lebih mewakili posisi
saintis, dan posisi Leibniz lebih mewakili posisi para filsuf.
Perbenturan keduanya terlihat seperti perbenturan antara fisika dan
filsafat. Yang satu mementingkan data empiris dan yang lainnya keketatan
logika. Perbedaan ini terbukti lebih konstruktif ketimbang destruktif.
Justru karena perbedaan-perbedaan itulah sains menjadi berkembang.
You Might Also Like :
0 komentar:
Post a Comment
Silakan masukan komentar dari Anda. No SARA, PORN, and SPAM. Please !